Seperti laki-laki, perempuan ialah benteng
kokoh dari sebuah perjuangan.Individu yang menyatu menjadi masyarakat. Ia bukan
rempah, hasil kekayaaan alam yang harus dimusiumkan dalam dapur. Bukan pula
pakaian kotor yang diletakkan dekat sumur juga seprei yang dilekatkan pada
kasur. Untuk mendefinisikannya, masyarakat harus paham persamaan dirinya dan
makhuk lainnya, yakni makhluk ciptaan tuhan yang memiliki 3 kelebihan alamiah
dibandingkan lainnya.
Ia adalah makhluk
yang menyuplai makanan tanpa takut dimonopoli. Ia adalah makhluk yang
memerdekakan individu dari sebuah ruang
kecil, rahim. Ia adalah makhluk yang kian dinikmati air susunya tanpa merasa
tereksploitasi. Dalam ketulusannya, lahir naluri untuk melindungi dan merawat
individu dari setetes darah hingga menjadi seonggok daging yang mampu membaca,
berdiskusi, dan aksi. Ialah sang pemilik
rahim perjuangan.
Secara
biologis, perempuan diciptakan dengan memiliki rahim yang mampu menyimpan
manusia didalamnya. Selama puluhan
tahun, ia menutrisi kebutuhan anak-anaknya mulai dari dalam kandungan hingga
luar kandungan.
Hal ini tak dapat dilakukan oleh laki-laki yang tak memiliki
rahim untuk menjaga dan memberi asupan makanan pada anaknya, hingga secara
biologis dapat disimpulkan bahwa kerepotan seorang perempuan menjadikannya
tampakl emah dari laki-laki, tanpa pernah
memperhitungkan kekuatan perempuan yang mampu menjadi rumah bagi manusia
lainnya selama 9 bulan diantara berjuta makhluk ciptaan tuhan di muka bumi ini.
Namun,
kamampuan seorang perempuan cenderung dipandang sebelah mata, dan menganggap ia
hanyalah manusia ‘lemah’ dari
masyarakat yang selalu genting bantuan meski untuk dirinya sendiri, sekalipun
ia mampu.
Disinilah, kesetaraan harusnya dijunjung tinggi oleh manusia, memandirikan
laki-laki juga perempuan pun sangat diperlukan, membangun rasa saling
menghargai antara laki-laki dan perempuan, bukan saling merendahkan satu sama
lain dan saling melemparkan istilah kata ‘lemah’
dan lain sebagainya yang cenderung dilontarkan pada perempuan.
Mengutip kata Ir. Soekarno dalam buku Sarinah (Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia). bahwa
jika saja konsep berperang adalah laki-laki rela mati di medan perang, maka
perempuan adalah setiap hari rela mati demi melahirkan seorang anak. Tak cukup
dengan hal demikian jika merendahkan seorang perempuan, tentunya akan
merendahkan diri sendiri yang lahir dari kaum yang dijuluki ‘lemah’ tersebut. Bukankah masyarakat
terbentuk dari kumpulan individu? dan individu penyusun masyarakat tersebut
dilahirkan oleh seorang perempuan?
Sayangnya,
disamping banyaknya masalah yang menimpa kaum perempuan, mayoritas masyarakat
Indonesia juga masih memandang perempuan sebagai manusia kedua setelah
laki-laki. Begitu memprihatinkannya kaum perempuan yang terkadang sebagian
haknya bergantung pada laki-laki, seperti masalah pekerjaan ketika telah
menikah. Cenderung suami akan bekerja di luar rumah seperti perusahaan atau
lainnya, sedangkan istri bekerja dalam
rumah, sesekali diluar rumah ketika suaminya sedang sakit, itupun dengan syarat
bahwa sang suami harus mengizinkannya terlebih dahulu, artinya apa?
Bahwa
sebagian hak perempuan ada di ujung lidah laki-laki. Tak hanya hak untuk
bekerja, bahkan hak untuk menduduki kursi pendidikan formal pun, perempuan
harus dihadapkan denganwarning oleh
masyarakat, ‘pendidikan perempuan jangan terlalu tinggi, takutnya tidak ada
laki-laki yang lamar’, kalimat warisan ini bertebaran di kota Makassar,
khususnya perempuan yang mengecap bangku perkuliahan akrab dengan kalimat
tersebut. Apakah perempuan terlahir dengan ujung pilihan pendidikan dan
pasangan hidup ?
Beberapa
pemikiran masyarakat Makassar masih mengadopsi bahwa setinggi apapun pendidikan
seorang perempuan, tetap akan berujung pada dapur. Dan jika perempuan berpendidikan
tinggi, maka laki-laki akan kewalahan dengan segala atribut pernikahan
perempuan, belum lagi tradisi yang mengekang perempuan tak boleh terlalu elegan
dengan pendidikan sebab pendidikan seorang perempuan di Makassar mempengaruhi uang panaik (sejumlah uang yang diberikan
oleh calon mempelai laki-laki pada calon mempelai perempuan sebagai syarat
pernikahan dalam jumlah yang disepakati oleh kedua mempelai saat lamaran;
sejenis mahar).
Namun, pertanyaannya, bukankah pernikahan itu harus lahir dari
kesepakatan bersama ? sehingga perencanaannya pun harus matang oleh kedua pihak
bukan berat sebelah. Apalagi jika menjadikan uang panaik sebagai tolak ukur kehormatan seorang perempuan
Makassar.
Pemikiran
seperti inilah, yang sebenarnya harus diruntuhkan dalam masyarakat, sehingga
antara laki-laki dan perempuan akan dibebaskan demi kemajuan bangsa Indonesia.
Ibarat burung, Negara memiliki 2 buah sayap, sayap sebelah kiri adalah
perempuan dan sayap sebelah kanan adalah laki-laki, jika salah satu sayapnya pincang maka burung
tersebut tak dapat terbang secara sempurna, begitupun Negara.
Soekarno selalu
mengatakan bahwa jika ingin melihat kemajuan sebuah Negara maka lihatlah
kemajuan perempuannya, perkataan tersebut cukup menyudutkan makhluk berjenis
kelamin perempuan dengan menjadikannya satu-satunya manusia yang bertanggung
jawab atas kemajuan sebuah negara.
Seperti
ini pula yang dilakukan oleh presiden kedua Indonesia, Soeharto memiliki
pemikiran bahwa untuk menekan pertumbuhan penduduk harus ada metode yang lahir di
masanya, yakni program Negara yang masih relevan hingga hari ini, keluarga
berencana (KB) yang lagi-lagi menyudutkan perempuan sebagai indikator
keberhasilan program kerja negara. Pengebirian perempuan di masa Orde lama dan
Orde baru secara konteks sama.
Menempatkan perempuan sebagai satu-satunya
makhlukyang bertanggung jawab atas kemajuansebuah negara, bukankah hal itu
terlalu konyol untuk menetap dalam pikiran Soekarno? Apalagi menyudutkan
perempuan pada keberhasilan sebuah program Negara? Belum lagi rumah bagi
sebagian perempuan adalah bui yang nyata. Meski tak memiliki kesalahan,
sebagian perempuan akan abadi terkungkung didalamnya.
Terlahir Sebagai Pejuang.
Maraknya
kekerasan yang selalu menjadikan perempuan sebagai objek penindasan serta
perbudakan menjadikan perempuan harus memiliki mental yang lebih baja. Pada
zaman jahiliyah, melahirkan seorang anak perempuan dianggap aib dan harus
membunuhnya, tak juga lepas dari telah terjajah sejak dalam rahim, lahir pula
masalah baru ketika seorang perempuan hanya sebagai manusia yang siap melayani
hasrat seksual laki-laki. Bahkan beberapa abad lalu perempuan dijuluki mesin pengeram dimana ia harus menjajakan
dirinya kepada laki-laki yang mampu membuatnya hamil. Sehingga memiliki anak dan
laki-laki merasa senang dengan sambutan calon penerus untuk melanjutkan
perjuangannya.
Tentunya
dengan beragam masalah yang dihadapi oleh perempuan, harusnya semangat juang
seorang perempuan lebih tinggi daripada seorang laki-laki yang sejak ia
dilahirkan sudah mengecap kemerdekaan lebih dari seorang perempuan yang
diberikan oleh masyarakat. Rasa iri hati serta memusuhi laki-laki yang terlahir
lebih dulu merdeka daripada seorang perempuan bukanlah solusi melawan
penindasan dari ketidakadilan.
Karena dalam hal ini, negara pun melegalkan
kekerasan pada perempuan. Dan upaya ini juga tak akan sekejap menjadikan
perempuan dan laki-laki setara dimata masyarakat, namun berbagai upaya harus
dimassifkan, penyadaran kepada masyarakat perlu dievaluasi, masyarakat harus
memenuhi haknya untuk memperkaya perspektifnya dengan membaca ataupun
berdiskusi tak luput dikhususkan kepada kaum perempuan, makhluk yang rentan
menjadi korban kekerasan ini perlu lebih memperoleh penyadaran baik perempuan
yang menduduki ibu kota yang juga rawan eksploitasi sekaligus yang
termarjinalkan ilmu dipelosok desa.
Dalam
kehidupan masyarakat, perempuan cenderung bersekolah atas izin dari orang tua,
namun di sisi lain, orang tua perih melihat anaknya menuntut pendidikan jauh
dari pandangannya. Setiap hari telepon berdering untuk menanyakan kabar anak
perempuannya. Kita akan melihat hal ini adalah manusiawi, seorang ibu
menghubungi anaknya untuk memastikan keadaannya. Banyak laki-laki yang juga
diperlakukan demikian oleh ibunya. Mari kita lihat fenomena sekitar, berapa manusia
berjenis kelamin perempuan yang masih dikungkung dalam rumah dan menundukkan
diri untuk mengejar ilmunya?
Mari
kita bahas dari orang yang paling dekat dari kata perempuan, yakni orang tua.
Berapa juta orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya? Berapa juta orang
tua yang mengharuskan anaknya dirumah setelah pulang sekolah? dan berapa
juta orang tua yang lebih memilih menghentikan sekolah anaknya ketika harus
membiarkan anak perempuannya merantau demi mengejar cita-cita. Meski banyak cita-cita
yang bisa tergapai tanpa sekolah formal namun apakah semua perempuan
menginginkan cita-cita yang sama? Nyatanya, tidak! Semua cita-cita tentunya
membutuhkan ilmu yang memadai untuk menggapainya dengan baik pula.
Namun, di
sisi lain seperti yang dikatakan Soekarno, perempuan mengalami Scheur, keretakan, di satu sisi ia harus
maksimal dalam mengurus rumah namun disisi lain ia juga harus maksimal
menduduki ruang publik.
Tidak seperti kebanyakan laki-laki yang jika ia
mengeluhkan seratus masalah untuk bersaing di ruang publik, di saat itu pula
perempuan terikat dua kali lipat masalah.
Melawan
Konstruksi Sosial.
Begitu
tajamnya taji konstruksi sosial yang terbangun dalam masyarakat, perempuan
tersudutkan sebagai pemicu timbulnya beragam permasalahan bahkan asumsi yang
mengenyangkan masyarakat bahwa laki-laki akan hancur dengan 3 hal. Yakni tahta,
harta, dan wanita. Entahlah, asumsi ini karena sekadar bersajak ab-ab- atau apa
saja alasan lainnya sehingga kata ‘wanita’ disetarakan dengan tahta dan harta.
Bahkan mayoritas pujian yang tertutur adalah dari mulut laki-laki kepada
makhluk yang berjenis kelamin perempuan. Dalam pujian tersebut, ketika
perempuan melakukan sedikit saja hal-hal kecil yang dianggap salah, maka tawa,
cemoohan, dan kata-kata kasar dihantamkan kepadanya oleh laki-laki yang sedetik
lalu memujinya.
Dalam
buku Sarinah, menjelaskan bahwa
ketika perempuan menolak ditempatkan dalam ruang-ruang domestik, dalam hal ini
rumah. Maka akan tetap saja ada penindasan di dalamnya yang menempatkan
perempuan lainnya di tempat tersebut. Ketika perempuan di perkotaan meminta
kesetaraan di ruang publik maka akan ada perempuan desa yang menggantikannya
bekerja di dapur rumahnya. Seperti buku yang pernah memaparkan bahwa tak akan
cukup sebuah pembebasan jika hanya membebaskan diri sendiri sedangkan yang lain
masih terpenjara. Namun seperti Emma Goldman dalam buku Ini Bukan Revolusiku bahwa ini adalah sumbangsih terbesar daripada
sebuah pembebasan yang berarti. Emma mengatakan paling tidak "Aku telah melakukan bagianku untuk
membebaskan pikiran manusia dari perbudakan".
Sepakat
dengan perkataan Emma, untuk melepaskan diri dari perbudakan sudah selayaknya
kita memandang sama terkait perjuangan, tak ada diskrimintif hanya karena ia
memiliki vagina, apalagi dogma dari agama yang seolah datang sebagai penghancur
dan pembatas ekspresi perempuan. Pahala dan dosa yang telah tertanam sebagai
buah dari sifat dan sikap manusia begitu mengerikan, hingga harus
mengenyampingkan rasa kemanusiaan.
Tak sedikit dari kita memandang perempuan adalah
manusia kedua. Menelan mentah-mentah apa yang tertulis. Seperti Emma yang
pernah berusaha menghancurkan budaya patriarki di gereja namun tak mampu
sehingga ia berpikiran bahwa pada dasarnya semua agama menindas.
Dalam
perspektif agama lain, yakni islam,
Asghar Ali Engineer dalam buku Pembebasan
Perempuan mengatakan bahwa untuk menafsirkan segala sesuatunya kita perlu
merujuk pada Al-qur’an dan hadits. Alqur’an dituliskan dengan bahasa arab namun
apakah semua orang arab paham maknanya? Tidak juga demikian, dari hal tersebut
lahirlah pernyataan bahwa untuk menafsirkan segala sesuatunya itu tergantung
dari tingkat intelektual seseorang. Untuk itu agama juga adalah alat
pembebasan, jika saja semua orang memaknai toleransi dengan baik. Seperti
halnya islam memandang penciptaan laki-laki dan perempuan yakni dari suatu
entitas sama (Al –Mukminun : 12-14),
tak hanya itu,hukuman yang berlaku dari islam bagi mereka yang mencuri (Al-Maidah : 38-39) dan mereka yang
berzina ( An-Nur : 2), antara
laki-laki dan perempuan pun sama.
Dalam film Pink (2016) yang dibintangi oleh Amitabh
Bachchan, sang legendaris India, mengungkap kesetaraan manusia depan hukum. Ia
mengkritisi bagaimana seorang perempuan ketika keluar bersama seorang laki-laki
tanpa sadar ia berlabelkan tersedia untuk semua, dengan meminum alkohol serta
mabuk-mabukan, berarti ia perempuan yang buruk sedangkan laki-laki hanya
dicegah dengan alasan kesehatan. Tertawa pada laki-laki dianggap siap untuk
berhubungan intim, sedangkan laki-laki tidak. Kemandirian perempuan hidup di
kota selalu jadi masalah dan selalu dipertanyakan, sedangkan laki-laki hidup
mandiri adalah pujian.
Dengan memakai pakaian ketat berarti mengundang
laki-laki untuk ke kamar sedangkan laki-laki bebas memakai pakaian apa saja.
Hal tersebut sama sekali harus menjadi perhatian bagi seluruh manusia, bahwa
yang perlu perhatian lebih oleh hukum negara hari ini bukan terletak pada
perempuantetapi pada laki-lakinya. Saat masyarakat melindungi laki-laki maka
perempuan juga telah terlindungi.
Sebagai solusi dari
segala permasalahan yang terjadi, utamanya subordinasi kaum perempuan dalam
masyarakat maka perlu adanya upaya mengedukasi dan memberikan pemahaman agar
kesadaran perempuan terbangun, khususnya sebagai seorang ibu yang kelak
mengajarkan banyak hal kepada anaknya. Tingkatkan budaya baca pada perempuan di
sekitar kita. Seperti I.r. Soekarno memberi porsi kewajiban perjuangan pada
perempuan seperti mengemban satu dari dua sayap yang dimiliki oleh burung, dan
satunya lagi adalah porsi perjuangan yang diemban oleh laki-laki.
Dalam buku Gelas Kaca dan Kayu Bakar yang ditulis
oleh Alwy Rachman, salah satu budayawan di Makassar. Ia memaparkan hasil
penelitian bagaimana budaya yang terbangun di Sulawesi selatan manjadikan
perempuan sebagai pemegang kehormatan keluarga. Sehingga ketika seorang
perempuan hancur maka akan menghancurkan citra keluarga tersebut. Perihal kata
hancur, salah satu substansinya adalah seks. Lagi dan lagi, pemikiran seperti
ini adalah upaya pelemahan perempuan di hadapan masyarakat.
Mari berpikir
terbuka bahwa berhubunga seksual di luar dari pernikahan adalah kesalahan besar
menurut kitab agama, namun mengapa yang disudutkan adalah perempuan? Apakah
karena ia memiliki rahim yang mampu menyimpan bayi?
Sedangkan sama sekali
laki-laki tampak bebas melakukannya. Bahkan dianggap hebat bagi sebahagian
darinya. Haruskah opini seperti ini terus terbangun di masyarakat ? tanpa ada
upaya mengedukasi mereka tentang arti sebuah persamaan?
Ataukah memang
nampaknya yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berdiam diri dan berpangku
tangan ataukah menyuruh tuhan menyelesaikannya dan menggantungkan secarik
kertas agar dilegalkannya penindasan terhadap perempuan tanpa ada upaya
mengadili pelakunya.
Rahim dan Pembebasan
Kendati
demikian kebutuhan seks juga adalah politis.Meski Emma dalam essainya
mengatakan bahwa, politik dalam Negara
sama sekali tidak dapat membebaskan perempuan, kecuali hanya merantai tangannya
sendiri. Perempuan pada akhirnya hanya akan memenuhi ruang-ruang dimana para
lelaki telah gagal. sehingga, masyarakat harus percaya bahwa pemeritah yang baik
adalah yang mati.
Mereka hendaknya membebaskan rakyatnya seperti seorang ibu
yang telah memerdekakan manusia dari rahimnya. Dari seorang perempuan,
masyarakat harusnya mampu belajar definisi kebebasanitu tersendiri. Ibu dan
anak yang dikandungnya adalah dua fisik yang berbeda. Dua kepala yang berbeda.
Mustahil bisa disatukan meski beberapa masyarakat bijak selalu mengumbar bahwa
‘dirimu adalah diriku’, ini sungguh
kata yang paling kejam. Memaksa sebuah pemikiran untuk sama sangat sulit untuk
ditolerir dengan keadaan dan alasan apapun.
Karena ketika manusia terlahir
makaharusnya tanpa pancasila Soekarno proklamirkan kemerdekaan, masyarakat
harusnya telah bebas dan merdeka, bahkan tanpa jaminan Negara pun, masyarakat
harus menikmati hak otoritas dirinya secara individu maupun sosial.
Rahim harusnya bermakna sebuah pembebasan bagi masyarakat, meski terlihat sepele, sekadar
terlahir dari vagina, namun hal kecil itulah yang memberi makna pada masyarakat
arti sempit dari sebuah kebebasan.
Jadi seketika perempuan melahirkan seorang
anak maka anak itu adalah individu yang bebas, meski orang tua atau seorang ibu
bertanggung jawab atas makanan, minuman, dan kelangsungan hidupnya, namun ibu
tetaplah ibu, bukan tuan. Anak tetaplah anak, bukan budak.Meminjam kembali kutipan essai Emma Goldman bahwa, "Emansipasi harus memungkinkan bagi seorang
perempuan untuk menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Semua hambatan
buatan harus dipecah, dan jalan menuju kebebasan yang lebih besar dibersihkan
dari setiap jejak abad penaklukan dan perbudakan,". Sebagaimana tokoh
revolusioner Anarkis ini, sudah selayaknya kita berpikir untuk kemajuan
masyarakat.
Meski
perspektif lain lahir dari Ir. Soekarnoyang terkesan menyudutkan kaum
perempuan, ia mengatakan bahwa jika ingin melihat kemajuan suatu bangsa maka
lihatlah kemajuan perempuannya. Lagi, lagi, dan lagi perempuan dijadikan tolak
ukur sebuah kehancuran. Bukankah ini sangat memprihatinkan? Jika mendalami
perspektif Soekarno, maka yang harus kita lakukan sekarang adalah upaya
penyadaran pada kaum perempuan tersebut. Kita lahir bukan tanpa perempuan.
Namun apakah kita akan terus menerka isi dari masing-masing kepala mereka?
Mesikpun hari ini banyak juga laki-laki yang tak memiliki kesadaran politik
bahwa keluhan mengenai mahalnya harga sandang, pangan, dan papan adalah akibat
dari tak sadar sehingga kurang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh mereka yang menduduki sistem.Seperti halnya partisipasi
laki-laki dan perempuan dalam perjuangan mewujudkan sebuah pernikahan, mereka
yang percaya akan melegalkan beragam kebutuhan melalui agama dan negara
tersebut. Beberapa contoh sekitar yang mampu dipelajari seksama. misalnya yang
paling dekat dengan tradisi di daerah Makassar, adalah uang panaik.
Masalah
ini bukanlah masalah sepele, di dalamnya terdapat embrio-embrio patah hati,
akibat penindasan satu sama lain melalui alat ini. Tak sedikit masyarakat
Makassar kehilangan kebebasan memilih dan dipilih akibat uang panaik, bahkan dengan mengenal Karl Marx dengan beragam teori
ekonomi politiknya dan Mikhail Bakunin dengan teori kebebasannya, maka
masyarakat harusnya sadar bahwa perekonomian selalu mempengaruhi kebebasan.
Masih dalam konteks uang panaik. Dalam masyarakat Makassar, uang selalu mempengaruhi siapa pendampingmu. Meski
tak dapat dianalisis secara keseluruhan. Namun ini adalah peluang penghambat
kebebasan. Tentunya tak sekadar itu.
Di dalamnya, terdapat cara mudah membaca
kelas-kelas sosial yang diciptakan dari lunturnya substansi budaya menjadi kata
gengsi. Akibatnya, tak heran jika banyak laki-laki yang kesal dan menganggap
perempuan adalah barang dagangan yang dilegalkan oleh mayoritas asumsi
masyarakat. Opini ini terus terbangun di masyarakat tanpa ada upaya penyadaran
dan masyarakat terus saja bermasa bodoh melanggengkan opini tersebut.
Tak
banyak hal yang dapat kita lakukan selain memberi kado buku kepada seluruh
perempuan di Indonesia, mulailah pada pasanganmu, saudaramu, ataupun perempuan
yang kau anggap sebagai orang terdekatmu. Pada akhirnya semua perempuan wajib
membaca, masyarakat akan menerbangkan Negara ataupun menghancurkannya adalah
urusan terakhir. Teruslah berjuang untuk kaum perempuan.
Karena tak ada
perempuan revolusioner jika tak ada bacaan yang revolusiner juga. Panjang
umur perjuangan. Mari bersama lahirkan peradaban yang setara.
Tulisan
ini, penulis dedikasikan pada pemuda dan
pemudi yang tak punya sumpah
Selamat
Hari Sumpah Pemuda
Makassar,
28 Oktober 2017
COMMENTS